Beberapa waktu yang lalu, saya berkunjung ke kediaman teman baru saya. Dia sebenarnya bukan orang yang baru saya kenal, tapi baru beberapa hari terakhir ini saya mengenalnya lebih dekat dan dapat berinteraksi secara intens. Dulu saya hanya sesekali berbicara dengannya, ya hanya basa-basi semata. Alasannya, saat ini saya dan dia berada di level pendidikan yang sama dan dia mengajak saya menjadi teman satu bangku dengannya karena merasa ada kecocokan antara dia dan saya.
Baru
kenal sebentar, tapi sudah merasa cocok? Aneh sekali memang.
Teman saya yang satu ini memang agak
aneh, bahasa sopannya seperti itu. Kalau boleh berkata kasar, saya akan bilang
si teman baru saya itu aneh sekali. Sangat aneh sekali. Malah apabila saya
bandingkan dengan teman-teman saya di tingkat pendidikan sebelumnya, si teman
baru saya ini kalah segala-galanya. Kalah modis, kalah gengsi, dan kalah pamor.
Mungkin rasanya sangat bersalah apabila membandingkan keduanya karena bagai
membandingkan si angsa dan si itik buruk rupa.
Namun dengan alasan, menghormati
keluarganya, saya tetap berbaik hati kepadanya meskipun dalam hati masih terasa
sungkan ketika bertemu dengannya.
Nah kembali lagi ke cerita.
Pada hari itu saya bertemu dengan bapak
dan ibu teman baru saya itu –tidak lupa teman baru saya. Kami duduk di sebuah
ruang untuk tamu yang berbentuk segitiga dengan kolam ikan kecil di belakang Si
Bapak. Di tengah ruangan terdapat meja bundar kecil dengan hiasan meja di
tengahnya.
Dari percakapan saya kemarin, Saya
mengenal ketiganya sebagai pribadi yang berbeda satu sama lain. Si bapak yang
akademis dan kritis; obrolannya setiap saat selalu menyindir tentang
pemerintah, pemerintah, dan pemerintah. Namun, beliau selalu menambahkan
argumentasi berdasarkan penafsiran nalar akademisnya. Pantas saja di belakang
ruang tamu saya melihat susunan buku-buku tebal yang terpampang rapi di lemari
kaca.
Beda halnya dengan si Bapak, si Ibu
memiliki ciri khasnya yang tak kalah unik. Setiap saya menjawab pertanyaannya,
beliau selalu mencocokkan jawaban saya dengan beragam resep masakan yang sudah
ia kuasai turun temurun dan disampaikan dalam guyonan renyah. Jadi, berdasarkan
penglihatannya, saya diibaratkan sebagai sebuah Lumpia namun masih berupa kulit
Lumpia. Belum diisi dan masih mentah.
Saya jadi bingung. Dari bapak yang serba
akademis dan ibu yang serba guyon, kenapa si teman baru saya ini bisa jadi
sosok yang pendiam, misterius, dan dingin ini. Saya berandai-andai, si teman
baru saya ini seharusnya bisa menjadi pribadi yang kocak, gembira, dan enerjik,
mewarisi karakteristik bapak dan ibunya.
Sepanjang saya bertamu, saya sesekali
melirik si teman baru saya. Gestur tubuhnya menandakan ketertarikan terhadap
pembicaraan amburadul antara saya dan si Bapak dan si Ibu. Sesekali dia
memasang mimik serius dan turut memberikan pendapat, apabila saya dan si Bapak
beradu pendapat dan opini. Namun sesekali dia juga tertawa kecil ketika saya
kepedasan sehabis melahap Onigiri Ayam Krispi yang sudah dibumbui banyak cabai
oleh Si Ibu.
“Gak papah, biar kamu kuat nanti
begadang,” tukas si Ibu santai. Saya langsung menyambar susu coklat dengan es
batu yang terhidang di depan saya. Wah ini pedasnya luar biasa sih bu.
Tapi saya melihat dia tetap merupakan
pribadi yang tidak berbeda dengan impresi pertama saya. Masih dingin dengan
saya.
Setelah cukup lama mengobrol dengan si
Bapak dan si Ibu dengan banyak topik dan tema, saya memperhatikan si teman baru
saya ini mulai berubah di mata saya. Pribadi yang pendiam, misterius, dan
dingin ini mulai berubah secara perlahan. Memang tidak menjadi pribadi yang
mewarisi karakteristik bapak atau ibunya, tapi saya merasa ada yang unik dari
teman baru saya ini. Semuanya terasa tidak berlebihan, pas malah. Menghadirkan
atmosfer baru di dalam percakapan saya dengan si Bapak dan si Ibu.
Karena merasa tidak menyangka dengan apa
yang saya lihat, saya mulai melempar pembicaraan kecil dengan teman baru saya
ini sembari tetap fokus pada topik dari Si Bapak dan Si Ibu. Awalnya si teman
baru saya ini tidak merespon percakapan saya dan malah melengos ketika saya
bertanya kepada dia. Si Ibu hanya tertawa. “Maaf mas, anaknya pemalu.”
Karena merasa tidak diacuhkan, saya
kembali mengobrol dengan si Ibu, sementara si Bapak sibuk menjawab Whatsapp
dari rekan-rekan bisnis yang tertarik bekerja sama dengannya. Si Ibu bercerita
bahwa saya akan sangat rugi apabila hanya mencoba beberapa resep masakannya.
Saya hanya tertawa mendengarnya. Lalu beliau berkata, bahwa teman-teman lain si
teman baru saya itu pada menyesal belum pernah mencoba resep masakannya. Saya
pun bergidik.
Hampir tiga perempat waktu berkunjung,
saya habiskan bercengkrama dengan si Bapak dan si Ibu. Saya kembali membuka
percakapan dengan si teman baru saya itu. Pertanyaan ringan yang saya rasa akan
sangat bodoh sekali untuk saya tanyakan. Namun entah mengapa, lidah saya sampai
hati mengucapkannya.
“Kamu memang pemalu ya?” tanya saya
singkat. Saya langsung merasa menjadi orang paling bodoh sedunia.
Dia menjawab. Pancaran aura barunya
semakin menguat, mengandaskan saya dan beragam catatan percakapan yang sudah
saya siapkan untuk mencairkan suasana. Ketika saya sudah gugup untuk mengajak
bercakap-cakap, tidak disangka dia mengajak saya berbincang-bincang lebih jauh.
Saya menjadi lebih kaget lagi. Tidak disangka saya merasa sangat nyaman
berbincang dengannya. Bahkan saya merasa ada kecocokan antara saya dengannya.
Nyaman rasanya.
Tanpa terasa waktu terus berjalan. Saya
dan si teman baru saya terus berbincang asyik. Hingga telepon genggam saya
berdering keras. Saya coba tidak acuhkan. Namun tidak berapa lama, dering
telepon semakin sering berdering. Saya mengangkat telepon saya. Dari teman lama
saya di tingkat pendidikan sebelumnya.
PULANG
SEKARANG. SAYA BUTUH KAMU DAN KAMU BUTUH SAYA. SEKARANG.
KLIK...
Saya langsung merasa tidak enak
meninggalkan si teman baru saya ini. Baru saja saya mendapatkan sosok baru yang
sangat enak untuk diajak ngobrol, tiba-tiba sudah dipanggil pulang. Saya merasa
serba salah. Ingin bertahan, tapi saya dibutuhkan segera oleh teman baru saya.
Namun teman baru saya memaklumi.
“Pulanglah. Kamu nanti bisa bertemu aku
lagi, kok.” ucap teman baru saya sambil tersenyum.
“Kapan?”
“Hingga semesta mempersatukan kita
kembali.”
Setelah ucapannya itu, saya langsung merasa lega. Lega bahwa saya akan bertemu dia lagi dengan pribadi yang baru yang saya senangi. Setidaknya saya masih dapat menghubunginya lagi. Entah mungkin ketika saya tidak sibuk atau ketika dia tidak sibuk.
Setelah ucapannya itu, saya langsung merasa lega. Lega bahwa saya akan bertemu dia lagi dengan pribadi yang baru yang saya senangi. Setidaknya saya masih dapat menghubunginya lagi. Entah mungkin ketika saya tidak sibuk atau ketika dia tidak sibuk.
Saya merapikan barang-barang yang saya
bawa ke rumah si teman baru saya. Ketiganya membantu saya merapikan
barang-barang saya. Seusainya saya ucapkan terima kasih atas bantuan dan jamuannya.
Di penghujung pintu, sambil mengantar
saya, teman saya berpesan.
“Datang lagi ya besok, banyak yang mau
aku sampaikan.”
“Oke tentu saja,” balasku sambil
melangkah ke pagar. Bersiap pulang menuju rumah teman saya yang lama, 50 menit
perjalanan ke arah barat.
Pojok
Kos E-18, 13 Januari 2018
0 comments