Sebagai insan yang
tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan penutur bahasa Indonesia, saya
dihadapkan dengan kenyataan bahwa menguasai bahasa lain selain bahasa Indonesia
adalah sebuah kewajiban. Bukan cuma bahasa asing dari budaya lain seperti
Inggris, Mandarin, atau Perancis, namun juga bahasa-bahasa daerah seperti Jawa,
Padang, atau Sunda. Saya pun selalu kagum dengan poliglot yang mampu menguasai
2-3 bahasa selain bahasa Indonesia, apalagi bila pengucapannya lancar dan
pelafalannya jernih seperti penutur aslinya.
Istimewanya lagi,
anak-anak generasi Z (post millenial) yang usianya sekitar 7-8 tahunan
sudah jauh lebih pandai berbahasa asing (Inggris) ketimbang rekan-rekan saya
atau guru bahasa Inggris saya ketika di sekolah. Bahkan, tingkat keminggris
bocah-bocah ini bukan lagi di level kata-kata basically, which is, atau literally
yang kerap diucapkan di pergaulan, namun sudah mencapai level ekspresi
sehari-hari yang sering diucapkan oleh masyarakat Inggris di sana.
Kondisi ini saya
sering temukan di daerah
Jakarta-bagian-tengah-agak-ke-selatan-sedikit-tapi-engga-terlalu-ke-selatan
yang notabene tingkat pergaulan internasionalnya di atas rata-rata. Bukan tidak
mungkin kota-kota lain di Indonesia juga memiliki region serupa yang tingkat
pergaulan internasionalnya di atas rata-rata.
“Mommy mommy, look! How wonderful that flower is! Can I take this,
pleaseee?” ucap si bocah dengan aksen Inggris Asia-Amerika yang didapatkan
entah dari asupan Disney Channel setiap pagi atau memang kewajibannya
menggunakan bahasa Inggris di sekolah.
Si ibu yang
kepayahan mengikuti kurikulum belajar anaknya hanya bisa menjawab sekenanya.
Tentunya juga dalam bahasa Inggris meski tidak selancar dan se-totok anaknya.
Akan tetapi saya tetap mengapresiasi peran si Ibu ini yang tidak kenal lelah
dalam beradaptasi mengikuti perkembangan buah hatinya.
Pada kasus lain,
saya juga pernah menemukan seorang bocah sepantaran 5 tahun yang mampu
menyanyikan lagu pembuka SpongeBob Squarepants secara jelas dan repet. Bukan
hanya pada bagian “Are you ready kids?”-nya saja, tapi sampai bagian si
perompak menyanyikan rentetan lirik secara cepat.
Are you ready kids?! Aye aye captain
I can’t hear you?! AYE AYE CAPTAIN!
OOOOOOOOOOOOOO
BREBERETBERETBERET (pas bagian ini si anak fasih melantunkannya, terkejut
saya)
SPONGEBOB SQUAREPANTS
BREBERETBERETBERETTTTT (apalagi pas bagian ini, makin terkejut
saya)
SPONGEBOB
SQUAREPANTS!
dan seterusnya. Sialan,
jago juga ni bocah, umpat saya dalam hati.
***
Nah, agar tidak
kalah bersaing dengan bocah-bocah lucu ini dan didorong adanya kebutuhan
menguasai bahasa asing, saya mengikuti sebuah kursus bahasa Inggris di salah
satu perguruan tinggi negeri di selatan Jakarta. Pembagian tema lesnya
didasarkan pada bagian-bagian dari tes The
International English Language Testing System yakni Reading (membaca), Writing
(menulis), Listening (mendengar), dan Speaking (bercakap). Saya
tidak mau lebih jauh membahas apa yang dibahas di dalam kursus saya, namun saya
ingin menceritakan tentang pengalaman saya di satu sesi kemarin.
Tidak
seperti biasanya, tutor kami (saya dan ke-12 siswa lainnya) tidak masuk kelas.
Tutor ini adalah tutor spesialisasi percakapan sehingga beliau hanya mengajar
di kelas Listening dan Speaking. Untuk sesi hari itu, tutor yang
menggantikan adalah seorang ibu-ibu berusia sekitar 50 tahunan dengan gaya yang
cukup trendi; rambut dicat kecoklatan, kacamata bingkai unik, dan pakaian yang
tidak formal namun masih cukup pas untuk dipakai mengajar. Otak saya langsung
bereaksi menerka-nerka si tutor ini.
“Morning
class! I’m going to be your substitute teacher for today’s class!” ucapnya
dalam bahasa Inggris yang lugas dan jelas. Oiya, demi kemaslahatan saya dan
panjenengan, percakapan berikutnya akan ditranslasikan ke dalam bahasa
Indonesia saja.
Kami langsung membuka
buku sembari menunggu ibu tutor membuka slide presentasi.
“OKE! Hari ini
kita masuk ke topik 3 ya! Tentang tindak kriminal berdasarkan buku ini. Coba
kalian sebutkan satu per satu apa saja tindak kriminal yang ada di dunia!”
Kami menyebutkan
satu per satu. Hingga muncul dua kata yang memiliki makna serupa Burglary dan
Robbery. Saya pun bingung membedakannya, karena bagi saya sama saja.
Ternyata saya pun tidak sendiri, teman saya juga merasa kebingungan. Namun dia
lebih cepat untuk bertanya ke beliau.
“Mam, ini bedanya apa ya?”
Merasa ditanya
seperti itu, si Ibu tersenyum. Seakan si anak masuk ke strategi metode
pembelajarannya. Masuk juga lu ke jebakan gua.
Si ibu kemudian
langsung memberikan contoh singkat, namun tidak langsung menjawab pertanyaan
yang ditanyakan teman saya. Loh ditanya A, jawabnya B? Beliau justru
mengungkapkan “pandangan” beliau dalam mempelajari Bahasa Inggris. Semua yang
beliau tuturkan juga berdasarkan pengalaman beliau sebagai akademisi dan
seorang karyawan di perusahaan internasional.
***
Singkatnya seperti
ini
Si ibu memulai
dengan perumpamaan bahwa belajar bahasa asing sebenarnya sama dasarnya dengan
mengendarai sepeda atau menyetir mobil. Penutur tidak perlu berpikir lebih jauh
soal struktur bahasanya, namun dilatih agar dapat terbiasa. Ketika seseorang
berbicara bahasa ibu, si penutur tidak akan berpikir panjang mengenai struktur
yang dikatakan, karena semuanya sudah terpatri secara matang di luar kepala
karena sering didengar dan diucapkan.
Si ibu lalu
melanjutkan, beliau merasa ada salah kaprah dalam pembelajaran Bahasa Inggris.
Beliau menganggap bahwa pembelajaran di Indonesia lebih menekankan pada
pemahaman teori berupa struktur kalimat dan tenses ketimbang hal-hal
yang sifatnya praktikal. Baginya, belajar bahasa Inggris merupakan “learning”,
bukan “studying”, kecuali kalau kamu memang mengambil gelar Sarjana di
Program Studi Bahasa Inggris.
Menurutnya, untuk
mencapai kondisi ideal bertutur bahasa asing, kamu juga harus familiar dengan
sistem dan lingkungannya. Kalau kamu ingin dapat memahami berbahasa Inggris,
bergabunglah dengan orang-orang penutur Inggris. Apabila ingin tinggal di suatu
negara dengan aksen tertentu yang sulit dipahami, maka usahakan familiar dengan
kondisi tersebut. Lagipula, sudah banyak sumber-sumber berita atau artikel di
internet dengan aksen tertentu.
Jadi, pada
dasarnya, belajar bahasa adalah kegiatan pembelajaran kognitif, yang artinya
ilmu didapatkan melalui kemampuan penyelesaian masalah. Oleh karena itu,
berlatih langsung adalah metode paling sesuai dan paling tepat. Ilmu yang
didapatkan pun juga harus dipraktikkan, jangan hanya dipendam saja di dalam
pikiran.
Belajar bahasa
harus mengalami jatuh dan bangun. Kesalahan yang didapat lalu diperbaiki adalah
kunci. Hingga pada akhirnya, kata-kata yang terucap dari lidah berasal dari
hati (perasaan atau feeling) bukan lagi harus melalui pusang-pusing grammar,
verba, vocab, dan lain-lain. Sama halnya seperti ketika berbicara bahasa ibu.
Setelah melakukan
“kuliah dadakan” selama 45 menit, si Ibu menutup topik dengan berkata “Ok
let’s get started with our business”. Ya memang pada akhirnya beliau menjawab
pertanyaan teman saya dengan mengajak teman saya membayangkan perbedaan antara
Perampok dan Pejambret. Mengerti? Yaaa little little lah~
***
Saya mendengarkan
dengan serius materi “ekstra” yang disampaikan secara apik oleh ibu ini. Di usianya
yang menginjak kepala 5 (begitu ucapnya), beliau memilih untuk meninggalkan
posisinya di perusahaan asing untuk beralih menjadi akademisi. Semesta
mendukung, beliau akhirnya dapat memberikan pencerahan kepada bocah-bocah di
kelas saya yang mencari wadah untuk berlatih bahasa Inggris. Secara kebetulan,
beliau pun juga mengubah paradigma rekan-rekan saya yang tadinya kebanyakan
berpikir soal “Ini bener ga ya kalo gua ngomong begini?” atau “Eh biji kolak! Ini past
tense bukan present perfect tense!” menjadi bahasa Inggris yang
praktikal.
Jadi ya sekian,
memang pada akhirnya saya masih belum mampu
menyanyikan Theme Song SpongeBob Squarepants secara fasih. Namun setidaknya skill saya bisa diadu dengan bocil-bocil di Jakarta-bagian-tengah-agak-ke-selatan-sedikit-tapi-engga-terlalu-ke-selatan itu.